Lucia
hampir patah hati
Setelah beberapa kali menolong pria yang sering mabuk di taman itu, maka semakin tahu bawa orang itu sebenarnya orang kaya.
Tetapi, Lucia yang sederhana, telah jatuh cinta padanya sejak awal. Tetapi, dengan berbagai pertimbangan, Lucia telah menyerah, dan merasa menderita sehingga hampir patah hati.
Lucia Denova hanya gadis biasa, dua puluh enam tahun usianya, tinggi 165, putih dan berambut lurus dan sering di bentuk cepat dan praktis seperti gaya rambut ekor kuda.
Tetapi, Lucia yang sederhana, telah jatuh cinta padanya sejak awal. Tetapi, dengan berbagai pertimbangan, Lucia telah menyerah, dan merasa menderita sehingga hampir patah hati.
***
Lucia Denova hanya gadis biasa, dua puluh enam tahun usianya, tinggi 165, putih dan berambut lurus dan sering di bentuk cepat dan praktis seperti gaya rambut ekor kuda.
Dia sehari-hari bekerja sebagai
sekretaris sebuah perusahaan kecil.
Tetapi dengan itu tidak menghentikan
usahanya untuk bisa cukup terutama untuk bayar kost, makan dan transport.
Dia memang pernah menjadi gadis model dengan
pendapatan lumayan, tetapi dalam beberapa hal tidak sesuai dengan bathinnya.
Karena itu terpaksa dia beralih untuk bekerja dengan penghasilan tetap meskipun
gajinya kecil tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Seperti biasa, makan siang di Kafe
Monas, dan hanya tempat itu kesukaannya, karena harganya terjangkau dan
tempatnya lumayan bersih.
Ingatannya datang lagi saat dua
tahun yang lalu pernah bertemu dengan orang “gila” di situ, di taman Tugu Monas.
Dan pada kenyataannya dia hanya hilang di telan waktu. Beberapa saat ketika
istirahat, dia memandang Tugu Monas itu. Tetapi, itu kan hanya sebuah Tugu
yang diam meskipun tetap saja menjadi saksi nyata dalam kehidupannya.
Ketika berjalan menuju kantornya,
kadang kadang kakinya menendang daun atau bunga yang jatuh bahkan sesekali ada
seekor Katak yang terlalu berani melompat dihadapannya.
Hidup sebagai bujangan memang tidak
selalu enak bagi Lucia Denova, dan sering mendapatkan sepi.
Dan sejak dulu menjadi terbiasa untuk menghapus pikiran jelek, bahkan ada
banyak orang mendekat tetapi ujung ujungnya mereka sebenarnya menginginkan
tubuhnya saja.
Tetapi, seperti layaknya seorang
gadis, dia sebenarnya tidak perlu menutup hatinya
karena cinta, dan sebaliknya berusaha untuk menemukan cinta sejati yang datang
dan bermakna bagi dirinya.
Itulah satu-satunya yang tidak adil,
meskipun dia sering menyampaikan pada Tugu Monas yang megah itu.
.
.
Mengapa dia berkata pada Tugu Monas?
Mengapa tidak pada teman yang di
anggapnya dekat untuk berbagi?
Benar bahwa Tugu Monas pada kenyataan
nya adalah bangunan yang megah, bangunan yang membanggakan dan hampir semua
penduduk di negeri ini ingin singgah untuknya.
Kelebihan yang lain untuk Tugu
Monas, bagi Lucia adalah sebuah saksi bisu, dan dia tidak akan memberitahu
siapa saja tentang rahasianya.
Tugu itu di anggap Lucia sangat
istimewa karena rahasia nya aman dan benar-benar tertutup olehnya, termasuk
ketika dua tahun yang lalu dia mendapat sangat rindu dengan kehadiran Bram.
Dia yang membuat dirinya harus
berburu ke seluruh pelosok dunia, dengan pikirannya, "Apakah benar di telah terlahir kembali sehingga bisa hidup mapan? Sedang apa dia
sekarang? Apakah mabuk lagi? Apakah ada yang menolongnya? Apakan ada yang mengurusnya? Apakah sudah
menikah? bahkan, Apakah mungkin sudah mati dan orang kampung telah menguburnya
tanpa nama?"
Lucia menangis ketika ingat itu, "Jika Engkau telah meninggal dunia, Apakah Engkau masih bisa melihat aku?"
Itu adalah nyanyian kesedihan untuk gadis sederhana seperti Lucia. Dia tidak memiliki keberanian untuk meminta, tetapi selalu memberi meskipun miliknya sendiri adalah sedikit, dan itu ikhlas.
Lucia menangis ketika ingat itu, "Jika Engkau telah meninggal dunia, Apakah Engkau masih bisa melihat aku?"
Itu adalah nyanyian kesedihan untuk gadis sederhana seperti Lucia. Dia tidak memiliki keberanian untuk meminta, tetapi selalu memberi meskipun miliknya sendiri adalah sedikit, dan itu ikhlas.
Tugu Monas itu tetap diam seolah membenarkan
dan seperti tidak setuju jika Lucia selalu mencarinya, karena dia yang sebenarnya hanyalah gadis biasa.
Sedangkan Bram,
setelah tahu, adalah seorang yang sangat kaya raya meskipun sedikit gila. Hal yang terlalu
jauh untuk menjadi kenyataan. Tetapi rasa cinta itu ada meskipun itu hanya singgah sebentar. Dan untuk menghapus ingatan itu memerlukan hampir
dua tahun lamanya.
.
.
Perusahaan layanan pengiriman Barang
adalah memerlukan bekerja cepat, memantau semua pengiriman sampai dimana setiap
hari dengan layanan monitor melalui satelit atau GPS dan internet serta mencatat barang
yang telah sampai di tempat sehingga semua bisa di layani dengan baik dan
benar.
Pekerjaan yang melelahkan, tetapi
dengan Jasa Lucia Denova, perusahaan itu telah tumbuh berkembang menjadi besar
bahkan sampai ke luar negeri. Dia kedudukannya telah berubah menjadi manajer pengiriman dan penerimaan barang untuk yang memiliki nilai besar. Sepertinya pekerjaan itu dinikmati dan dia tetap bertahan di tempat itu.
Seperti biasa setiap pagi dia
berjalan dan melambai ke Tugu Monas itu dan dia tersenyum selamat pagi Indonesia, semoga Tugu Monas itu tetap abadi. Dia selalu bergumam
ketika berjalan di situ dan tak perduli meskipun hari pagi itu hujan. Tetapi sampai di tempat itu, dalam ingatannya, orang itu pernah tertidur sehingga menghalangi jalan setapak itu, dia selalu ingat kembali Bram dan seolah baru kemarin terjadi.
Pengiriman barang pagi itu hampir
selesai, tetapi ada barang besar dalam sebuah Kontainer, dan diperiksanya
sekali lagi alamat yang di tuju.
Siang itu Lucia menjadi lemas,
karena ingatannya kembali seperti dua tahun yang lalu, tentang mengurus orang
"gila"
membersihkan wajahnya ketika jatuh berdebu dan memberi minuman. Ya…!
Alamat itu adalah alamat Bram,
yang telah di buang dalam benaknya hampir dua tahun ini.
"Mengapa rekan bisnisnya
mengirim barang itu dari Jerman melalui perusahaannya?"
"Mengapa kembali mengungkit
masa lalu yang telah di hapus itu?"
Lucia keluar kantor saat itu dan
dari kejauhan memandang Tugu Monas itu seolah menyalahkannya.
.
.
Hatinya berkata, “ Hai Tugu Monas…!
Mengapa engkau tidak pernah memberitahu tentang ini?
Mengapa engkau seperti berdusta
padaku bahwa rahasia ini hanya aku yang tahu?
Mengapa itu telah membuat rusak suasana hatiku?"
Mengapa itu telah membuat rusak suasana hatiku?"
Saat makan siang dia telah berpesan
pada teman sekantornya, bahwa satu surat pengantar pengiriman barang itu biar
di simpan dilacinya, karena ada yang perlu di pelajari dan nanti setelah makan
siang akan di lanjutkan.
Jiwanya telah goncang dalam
perjalanan ke Kafe Tugu Monas itu, dan sesekali menendang kerikil yang ada di
hadapannya. Hatinya seperti Protes, karena sebenarnya dia benar-benar telah
menyerah untuk bertemu dengan orang gila itu.
Dan hingga hampir dua tahun seperti menyimpan bara di dadanya, karena dengan pertemuan itu membuat dia merasa tersakiti.
Itu semua sebenarnya bohong, karena mungkin saja Lucia menangkap makna cintanya berlebihan. Sehingga mungkin saja dia telah salah menilai. Itu semakin jelas karena sebenarnya, menurut hati nuraninya, Bram tidak salah karena dia hanya hadir dalam ingatannya dan berlalu, kemudian hilang tertiup angin.
Dan hingga hampir dua tahun seperti menyimpan bara di dadanya, karena dengan pertemuan itu membuat dia merasa tersakiti.
Itu semua sebenarnya bohong, karena mungkin saja Lucia menangkap makna cintanya berlebihan. Sehingga mungkin saja dia telah salah menilai. Itu semakin jelas karena sebenarnya, menurut hati nuraninya, Bram tidak salah karena dia hanya hadir dalam ingatannya dan berlalu, kemudian hilang tertiup angin.
Dia sadar saat ada nembusan angin yang datang dengan halus di halaman Kafe
itu dan beberapa daun jatuh dan beberapa menerpa muka Lucia Denova. Sebuah perubahan seperti ada misteri yang datang dari Monas. Entah karena apa, saat makan itu
terasa tidak seperti biasa. Di lihatnya Tugu Monas Yang begitu megah memberikan
pandangan yang nyaman, bahkan ketika makan ada yang tak biasa. Alunan lagu yang berdendang dari sebuah radio milik Kafe itu telah membuat
sentuhan-sentuhan di jiwanya dan membuatnya dirinya semakin nyaman.
“Ada apa dengan ini semua? Apa
yang membuat dirinya menjadi lebih bersemangat? Mengapa seolah ketika
pulang makan menuju kantornya hampir semua suasana gundah itu menjadi lenyap?”
Memikirkan berkas surat pengiriman
barang itu, Lucia menjadi tergerak, karena barang itu sangat mahal nilainya.
Dipelajari isinya dan itu menyebabkan Lucia harus mengantar surat itu sendiri
untuk mengamankan perusahaannya dari keteledoran pengantarnya.
Kepercayaan dirinya telah datang dan seperti menatang,"Hai Tuan Gila! Hari ini Aku datang ! Apakah Engkau sudah siap dengan Jawabanmu? Katakanlah yang sebenarnya, dan jika Engkau ragu segera katakan, agar aku tidak selalu berharap padamu!"
Kepercayaan dirinya telah datang dan seperti menatang,"Hai Tuan Gila! Hari ini Aku datang ! Apakah Engkau sudah siap dengan Jawabanmu? Katakanlah yang sebenarnya, dan jika Engkau ragu segera katakan, agar aku tidak selalu berharap padamu!"
Meskipun sedikit macet, siang itu
hampir jam dua, Lucia sampai di alamat yang di tuju. Di pandangi gedung megah
itu dan tertulis “Bram Stores
Business Center”
.
.
Melalui satpam didepan, dan dia di
antar menghadap ke bagian penerimaan pengiriman barang dan mereka tampaknya
sangat teliti memriksa berkas itu satu-persatu dan mencocokan dengan surat yang
lain sebagai lampiran pesanan barang.
Dia duduk menunggu di situ, tetapi sebentar petugas itu berkata,"Apakah Ibu benar Nona Lucia?"
"Oh..! Ya,,! Aku Lucia ! Ada apa pak.!"
"Ma'af Ibu..! Saya di suruh Bapak untuk meminta Ibu ke lantai tiga di ruang Bapak Direktur!"
"Apa yag dikatakannya tadi?"
Dia berkata,"Pak Sugadi, Tolong di bawah itu ada Nyonya saya, namanya Lucia. Ajak dia ke atas ke tempatku!"
Lucia sangat marah saat itu, tetapi di tahannya agar petugas itu tidak curiga.
Dia duduk menunggu di situ, tetapi sebentar petugas itu berkata,"Apakah Ibu benar Nona Lucia?"
"Oh..! Ya,,! Aku Lucia ! Ada apa pak.!"
"Ma'af Ibu..! Saya di suruh Bapak untuk meminta Ibu ke lantai tiga di ruang Bapak Direktur!"
"Apa yag dikatakannya tadi?"
Dia berkata,"Pak Sugadi, Tolong di bawah itu ada Nyonya saya, namanya Lucia. Ajak dia ke atas ke tempatku!"
Lucia sangat marah saat itu, tetapi di tahannya agar petugas itu tidak curiga.
Lucia mengetuk pintu itu, dan
tampaknya dari dalam telah di tunggu dengan suara khas Bram yang tertawa lebar
dan mereka bersalaman.
Benar Lucia sangat Grogi saat itu,
dan mencoba menutupinya dan seolah ada percaya diri untuk menenangkan suasana
hatinya. Tetapi masih kalah cepat oleh Bram, karena dia telah menyodorkan
minuman aqua dingin untuk pelepas dahaga.
.
.
“Bagimana kabarnya Lucia…! Apakah
baik-baik saja?”
“Ya Bapak…! Saya memang bekerja di
tepat pengiriman barang itu, dan karena nilainya besar, maka harus saya sendiri
yang mengantar untuk keamanannya.”
Bram tertawa lebar dan dia menuding
ke TV Monitor di depannya.
“Lihat itu di sana, di bawah, tempat
kamu tadi duduk menunggu pemeriksaan, dan aku perhatikan sangat lama dan
sepertinya kamu yang saya cari hampir dua tahun ini."
.
"Bapak..! Apa boleh aku bertanya?"
"Ya ! Silahkan!"
"Tadi petugas itu menegurku, katanya, Nyonya Bram, Anda di tunggu Bapak di atas! Pertanyaanku, Apakah Bapak benar tadi memerintah seperti itu pada petugas itu!"
Bram sangat keras dan berkata," Iya..! itu betul, karena aku memang sudah mencarimu begitu lama, dan baru saat ini kita bisa bertemu!" katanya.
"Ah..! Bapak..! Aku sangat malu ketika di panggilnya tadi, dan saya semakin tahu bahwa Bapak selalu ingin bergurau denganku"
"Oh..! Tidak..! Tidak seperti itu maksudku! Kamu tahu, setiap Bulan Purnama aku datang ke Tugu Monas itu, hanya untuk berkata pada Bulan, Hai Bulan...! Dimana Lucia milikku? Tolong sampaikan padanya bahwa aku selalu menunggu untuk menemukannya! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Tugu Monas itu sebagai saksinya!.” katanya.
"Bapak..! Apa boleh aku bertanya?"
"Ya ! Silahkan!"
"Tadi petugas itu menegurku, katanya, Nyonya Bram, Anda di tunggu Bapak di atas! Pertanyaanku, Apakah Bapak benar tadi memerintah seperti itu pada petugas itu!"
Bram sangat keras dan berkata," Iya..! itu betul, karena aku memang sudah mencarimu begitu lama, dan baru saat ini kita bisa bertemu!" katanya.
"Ah..! Bapak..! Aku sangat malu ketika di panggilnya tadi, dan saya semakin tahu bahwa Bapak selalu ingin bergurau denganku"
"Oh..! Tidak..! Tidak seperti itu maksudku! Kamu tahu, setiap Bulan Purnama aku datang ke Tugu Monas itu, hanya untuk berkata pada Bulan, Hai Bulan...! Dimana Lucia milikku? Tolong sampaikan padanya bahwa aku selalu menunggu untuk menemukannya! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Tugu Monas itu sebagai saksinya!.” katanya.
Lucia hampir tidak mengerti tentang
pembicaraan itu, seperti sebuah misteri yang tidak mudah terungkap.
"Ah Bapak ini..! Sebenarnya, selama ini Aku tidak mudah percaya tentang rayuan seorang laki-laki siapapun itu."
"Ah Bapak ini..! Sebenarnya, selama ini Aku tidak mudah percaya tentang rayuan seorang laki-laki siapapun itu."
Begini Lucia, Aku memang telah menunggumu sejak lama, dan ma'afkan Aku. Itu tadi memang sengaja aku suruh begitu, karena hanya Engkau yang boleh menjadi Istriku!"
“Ah…! Apakah benar begitu Bapak…? Apakah ada yang salah tentang pembicaraan kita di masa lalu?”
“Ya …! Itu benar.. Engkaulah yang salah, karena diam-diam telah mencuri hatiku, dan itu adalah fakta! Karena itu sekarang aku akan menghukummu!” katanya.
“Berapa nomor telepon kantormu?”
Lucia memberikan itu padanya dan Bram menyambung kesana, “Benarkah ini kantor
pengiriman barang….?” “ Ya…! Iya… Ini seperti yang Anda sebutkan !
Apakah ada yang salah dalam dokumen Anda?”
.
“Tidak…! Tidak itu…! Saya mohon izin tentang itu, petugas pengantar barang Anda yang namanya Lucia, ternyata itu adik saya yang telah hilang! Karena itu, untuk merayakannya setelah bertemu, saya minta izin untuk hari ini dia tidak kembali ke kantor Anda! Apakan ini di Izinkan..!”
.
“Tidak…! Tidak itu…! Saya mohon izin tentang itu, petugas pengantar barang Anda yang namanya Lucia, ternyata itu adik saya yang telah hilang! Karena itu, untuk merayakannya setelah bertemu, saya minta izin untuk hari ini dia tidak kembali ke kantor Anda! Apakan ini di Izinkan..!”
“Oh Ini Bapak Direktur Bram..!
Ya…! Ya… bisa…! Bisa! “
“Terima kasih…! “ Bram menutup
telepon itu.
Seorang yang sederhana seperti Lucia, saat itu seperti di sambar petir. Karena rayuan Bram memang sudah sangat keterlaluan, sehingga hatinya benar-benar"Klepek-Klepek."
Lucia hampir tidak bisa bernapas dan matanya berkaca-kaca sehingga dia dengan cepat menghapus airmata yang terlajur jatuh di bajunya. Pikirannya melayang jauh sekali dan dia hampir tidak percaya tentang apa yang dikatakan oleh Bram. Dan hanya Dia di dunia ini yang mampu memporakporandakan semua keteguhan hatinya. Dan di kursi ruang tamu itu, Lucia seperti diam dengan pandangan kosong karena rasa percaya diri yang di siapkan sejak semula itu ternyata telah hilang.
Lucia hampir tidak bisa bernapas dan matanya berkaca-kaca sehingga dia dengan cepat menghapus airmata yang terlajur jatuh di bajunya. Pikirannya melayang jauh sekali dan dia hampir tidak percaya tentang apa yang dikatakan oleh Bram. Dan hanya Dia di dunia ini yang mampu memporakporandakan semua keteguhan hatinya. Dan di kursi ruang tamu itu, Lucia seperti diam dengan pandangan kosong karena rasa percaya diri yang di siapkan sejak semula itu ternyata telah hilang.
.
Bram dalam keheningan itu berkata,“Lucia, seperti yang telah kukatakan Dulu padamu, engkau telah menyelamatkan hidupku hingga seperti ini sampai sekarang. Kalau tidak ada kamu saat itu, maka sampai sekarang aku mungkin tetap seperti gelandangan, suka mabuk dan mirip orang yang hidupnya terlantar. Entah karena apa, aku terus memiliki kemampuan berfikir untuk memulai hidup yang lebih berguna. Yang jelas hidupku saat itu telah berubah dan itu selalu ku ingat tentang sebuah kesederhanaan dalam segala hal, sangat santun, selalu menolong orang lain dan itu adalah kamu."
Lucia mulai menangis, "Bapak..! Aku benar-benar tidak tahu tentang apa yang harus ku katakan pada Bapak!"
Bram dalam keheningan itu berkata,“Lucia, seperti yang telah kukatakan Dulu padamu, engkau telah menyelamatkan hidupku hingga seperti ini sampai sekarang. Kalau tidak ada kamu saat itu, maka sampai sekarang aku mungkin tetap seperti gelandangan, suka mabuk dan mirip orang yang hidupnya terlantar. Entah karena apa, aku terus memiliki kemampuan berfikir untuk memulai hidup yang lebih berguna. Yang jelas hidupku saat itu telah berubah dan itu selalu ku ingat tentang sebuah kesederhanaan dalam segala hal, sangat santun, selalu menolong orang lain dan itu adalah kamu."
Lucia mulai menangis, "Bapak..! Aku benar-benar tidak tahu tentang apa yang harus ku katakan pada Bapak!"
"Lucia, Aku selalu ingat semua yang
kaulakukan untuku saat jatuh itu, membersihkan mukaku yang lama tidak tersentuh
air, memberikan minuman air segar, membuang botol brendi dan itu masih ada
senyum di wajahmu. Ada kata-kata lagi yang kuingat sampai di rumah,
"Jangan minum lagi karena itu tidak baik untuk kesehatan!"
Lucia menangis dan menutup mukanya dengan tangannya dan berkata,"Ma'afkan Aku Bapak..! Apa aku ada yang salah..!"
Lucia menangis dan menutup mukanya dengan tangannya dan berkata,"Ma'afkan Aku Bapak..! Apa aku ada yang salah..!"
"Lucia, Aku selalu ingat peristiwa seperti itu
mungkin hampir tidak ada manusia di seluruh dunia ini selain kamu yang mau
melakukan untuk aku. Itulah sebabnya aku hampir patah
hati karena sehari-hari menanggung rindu untuk selalu mencarimu, dan itu
Aku lakukan tidak pernah putus seharipun.” katanya.
Lucia benar-benar menangis saat itu
dan Bram mendekat di sampingnya. “Maukah engkau menikah denganku?”
Kata-kata Bram seperti petir di
siang bolong menggelegar seperti meremas dan membuat porak poranda semua yang ada dalam
hati Lucia dan bahkan tubuhnya seperti menggigil karenanya.
Lucia semakin keras menangis dan
benar menggigil ketakutan. “Apakah Bapak tidak menyesal, karena saya kan hanya
gadis miskin dan tidak memiliki apa-apa?”
![]() |
Senyum Dewi Antonitet |
Tiba tiba Bram merangkul Lucia dan
dia jatuh menangis di pangkuan Bram.
Bram Mengelus rambut Lucia dan pikirannya sekarang telah menjadi semakin nyata bahwa benar cita-citanya terwujud, meskipun dengan perjuangan yang tak kenal lelah.
Bram Mengelus rambut Lucia dan pikirannya sekarang telah menjadi semakin nyata bahwa benar cita-citanya terwujud, meskipun dengan perjuangan yang tak kenal lelah.
Baginya, Lucia seperti Dewi Antonitet yang menjelma ke bumi dan tersenyum, kemudian berkata, "Dunia memerlukan orang sepertimu Bram, orang yang mengerti penderitaan orang lain, maka temukan kebahagian-mu sampai akhir hidupmu!"
Lucia menangis dalam pelukan Bram saat itu dan benar, dia memintanya besok untuk menikah dengannya. Karena itu, semua kelengkapan telah di siapkan oleh anak buahnya.
"Lucia, ma'afkan aku, sebenarnya aku telah tahu tempat kerja kamu satu minggu yang lalu, sehingga di ruang bawah sana telah di siapkan resepsi pernikahan kita besok." Bram berbisik saat itu, dan Lucia memandang Bram dengan tajam.
"Ayolah Lucia, mari kita jalani hidup ini bersama, dan semoga Tuhan mengijinkan kita hidup berkeluarga sampai hayat memisahkan kita"
"Yang di katakan Mas Bram itu semua apakah benar, padahal aku tidak membawa apa-apa!"
Bram sambil membelai rambutnya dan berkata,"Lucia, sebelumnya aku telah menyiapkan semuanya, bahkan ukuran bajumu, diam-diam seminggu yang lalu telah datang orang yang mengaku untuk membuat baju seragam padamu, Iya kan..!"
Lucia mengangguk dan berkata,"Jadi orang itu Engkau yang menyuruh"
Bram tertawa agak keras, dan berkata," Lucia, ada baiknya Engkau mandi dulu dan ganti bajumu di sana, dan setelah itu kita pergi ke Kafe Monas itu untuk makan, Engkau sudah lapar kan..!"
Didalam kamar mandi itu Lucia berfikir keras dan diperiksanya semua baju baru itu memang pas dengan ukurannya. Dia keluar dari kamar ganti itu dengan tersenyum, meskipun matanya masih merah karena habis menangis.
Bram di luar telah menyambutnya, dan benar luar biasa cantik, Lucia yang sebenarnya mantan Foto model, sehingga sore itu semua panitia yang ada di bawah terkagum-kagum dengannya saat berjalan keluar bersama Bram.
Sepertinya rasa sakit itu telah hilang, dan Lucia baru percaya saat itu. Dapat di bayangkan bahwa empat jam yang lalu masih seorang karyawan di tempat kerjanya, sedang saat ini dia menjadi calon Istri Bram.
Kembali seperti saat awal, Tugu
Monas itu memang hanya sebuah bangunan yang megah, tetapi ternyata didalamnya
ada penuh misteri, seperti dialami Lucia Denova yang hampir patah hati, dan tetap saja Tugu Monas menjadi saksi abadi bagi mereka
berdua untuk menyempurnakan hidupnya dengan hidup berumah tangga bersama Bram.
Sekian, Terima kasih
telah membacanya!
djokobiz
Tidak ada komentar :
Posting Komentar